Kamis, 09 Desember 2010

Kucing Hitam


Oleh: Rudi Setiawan

Dengan mengendap-endap aku melompat dari jendela kamarku, sore ini aku mempunyai janji dengan Dara gadis manis tetangga sebelah yang kukenal secara tak sengaja di taman kota. Sudah dua minggu ini aku menjalin hubungan rahasia dengan dia. Tak seorangpun kuberi tahu, termasuk juga nyonyaku. Sebab nyonyaku termasuk tipe wanita yang agak cerewet, aku dilarangnya bergaul dengan sembarangan teman, bahkan untuk keluar rumahpun terkadang aku dilarangnya.
Senja ini langit tampak cerah, angin sepoi-sepoi mengecup dedaunan yang menari indah, burung-burung gereja melayang pulang ke rumah, pohon-pohon akasia yang tumbuh rindang ditepian jalan berdiri dengan gagah, menatap lalu lalang kendaraan dari segala arah, dan wajah kota tengah berdandan menyambut malam dengan penuh gairah.
Aku berlari-lari kecil sambil bersiul, mendendangkan lagu-lagu yang sedang gaul. Dimataku terbayang wajah si Dara tengah tersenyum manis, menungguku ditengah taman dibawah pohon manggis, didekat danau kecil yang dipenuhi burung belibis. Hatiku berdesir-desir dipermainkan rindu, bulu-bulukupun meremang tegak menugu, bening bola matanya bermain-main di angan-anganku.
Tiba-tiba suara klakson keras berbunyi, diiringi teriakan serapah dan caci maki, karena aku nyelonong menyeberang jalan tanpa permisi. Lamunanku mendadak buyar menepi, tapi aku terus berlari tak peduli, menyusuri jalan sempit dan sepi, berharap segera menemui pujaan hati. Tepat ditengah taman dibawah pohon manggis, senyum si Dara tersungging manis, seperti pelangi dirinai gerimis, debar di jantungkupun terkinyis-kinyis.
********************************************
“ Hai apa kabar, lama menunggu ya”, sapaku basa-basi.
“ Ndak, baru saja kok beberapa menit sebelum kamu“, jawabnya dengan lembut.
Ah hatiku benar-benar berbunga-bunga mendengar kata lembutnya, jiwaku serasa melambung di awang-awang jingga, rerumputan di taman inipun bergoyang-goyang seolah menggoda.
“ Mari kita berjalan-jalan menyusuri taman ini yuk “, ajakku kepadanya.
“ Boleh ayo”, sambil mengangguk dia mengiyakan ajakanku.
********************************************
Berjalan berdua berdampingan, menyusuri indahnya taman, bunga-bunga bermekaran indah menawan, semerbak harumnya menebar wewangian, kicau burung-burung parkit hinggap di dahan-dahan, desah angin berhembus lembut perlahan, sepasang kecoak bercumbu didalam selokan, warna senja benar-benar elok mempesonakan.
“ Hey berhenti kau !”, suara bentakan tiba-tiba muncul dari balik rimbun ilalang.
Gareng si preman kelas keteng, tubuhnya kerempeng dan penuh koreng, telah berdiri petentang-petenteng, menghadang didepan kami sambil matanya mencereng.
“Mau kemana kalian, sore-sore berpacaran ditempat umum “, tanyanya kasar.
“Tahu nggak kalian taman ini adalah daerah kekuasaanku “, bentaknya dengan suaranya yang cempreng.
“Hei Gareng, bukankah taman ini milik umum, kenapa kau mengaku-aku kepunyaanmu !“, bentakku tak kalah kerasnya.
“Kamu berani ya, kamu menantangku ya !”, Gareng semakin garang membentakku.
“Iya, memangnya kenapa, aku tak akan takut kepadamu !”, gertakku.
“Sudahlah bang jangan diterusin, tak baik bertengkar di tempat umum !”, bisik Dara dengan khawatir kepadaku.
Tetapi tiba-tiba saja Gareng menerjang ke arahku, dengan gesit dan reflek yang kupunya akupun berhasil menghindar darinya. Si Dara berteriak-teriak histeris berharap kami berhenti berkelahi. Gareng terus menerjang dengan garang, aku tak kalah gesit terus menghindar dan sesekali balas menerjang. Hingga pada suatu kesempatan aku berhasil menendangnya hingga terjengkang, lalu dia pun lari tunggang langgang.
Ketika hendak kukejar dia, si Dara melarangku, “Sudahlah bang ndak usah dikejar lagi dia!”
“Kita pulang aja yuk bang!” ajak si Dara.
“Kenapa pulang? Kita kan belum puas menikmati jalan-jalan kita?” elakku.
“Tapi bang, hati Dara sudah nggak nyaman lagi disini bang,” Dara terus merengek.
“Dara takut nanti si Gareng akan mengajak teman-temannya mengeroyok abang," terang Dara ketakutan.
Setengah terpaksa kami berdua pun melangkah pulang, meski sebenarnya hatiku masih gamang, sebab rasa cinta di dada belum sempat tertuang dan gelegak-gelegak kerinduan masih terus mengguncang-guncang.
********************************************
“Hey dari mana saja kau sepanjang sore ini sayang?” sergah nyonya di depan pintu.
Lalu dengan rasa sayang dia memelukku dan membawaku duduk di sofa di ruang tamu, jemari-jemari lembutnya mengelus-ngelus kepalaku sedangkan aku berbaring dengan manja di pangkuannya.
Nyonyaku adalah seorang janda, semua anak-anaknya telah menikah dan tinggal diluar kota, dia tinggal di rumah ini hanya ditemani Iyem pembantu rumah tangga dan aku. Mungkin karena dia merasa kesepian sehingga dia benar-benar sangat sayang kepadaku. Dia merawatku dengan penuh kasih sayang seperti layaknya anaknya sendiri, meski terkadang dia agak cerewet dan memarahiku, mungkin itu karena rasa perhatian dan sayangnya kepadaku.
“Wah kelihatannya kamu belum makan sore ini ya sayang,” bisik nyonya sambil mencium leherku.
“Makanya jangan sering main keluar rumah, kamu nanti jadi kotor dan bau “, nasehatnya kepadaku.
Aku terdiam sambil memandang sorot matanya yang menatap penuh kasih kepadaku.
“Iyem!” tiba-tiba dia berteriak memanggil si Iyem.
“Iya nya!” Ada apa nya!” sahut Iyem dari dapur.
“Ambilkan biscuit dan susu untuk makan si Hitam ya!” perintah nyonya.
“Baik nya!” jawab si Iyem
Bergegas si Iyem mengambil biscuit kaleng dan susu dari kulkas untuk makan malamku.


sumber: kompas.com

Rabu, 08 Desember 2010

Manusia dalam Gelas Plastik

Oleh: Fandy Hutari

Sepasang suami istri menangisi mayat perempuan tua di antara timbunan sampah. Mereka tak menyangka, setelah menyesalkan perbuatannya dan mencari ke mana-mana, akhirnya orang tua dan mertua mereka sudah tak bernyawa di tempat yang sangat tidak layak: timbunan sampah. Sungguh mereka menyesali semua perbuatannya...

***

Malam sudah sangat larut. Sore tadi hujan baru saja berhenti setelah seharian turun lebat. Menyisakan malam yang begitu lembap. Angin yang mendesis menusuk-nusuk tubuh ringkih yang dibungkus kulit keriput nenek Mardiyem. Tulang belulangnya yang telah rapuh dimakan usia, dipaksa melawan kebekuan malam ini untuk bertahan hidup. Demi sesuap nasi dan seteguk air. Di saat orang-orang sudah terlelap, dia masih terjaga. Nenek Mardiyem masih mengais botol dan gelas plastik bekas di selokan, trotoar, hingga di gang-gang kecil yang digenangi air hujan. Lumayan, sepanjang hari ini barang-barang yang dianggap kebanyakan orang tidak berguna itu telah terkumpul satu karung beras penuh. Karung beras yang digembol di punggung bungkuknya ke mana-mana. Dia memperlakukan karung beras itu ibarat menggendong anak kecil. Di mata dia, barang-barang ini adalah emas. Adalah uang. Adalah hidup...

***

Pukul 11.20 WIB, waktunya untuk pulang. Dia berjalan gontai di trotoar. Memanggul derita seorang diri. Langkahnya dipayungi lampu-lampu jalanan yang reduphidup dan mati bergantian. Sudah terasa cukup baginya sekarung penuh berisi botol dan gelas plastik di punggungnya. Malam ini, jalanan sepi belaka. Tak ada seorang pun yang melintas di trotoar yang dia jejaki. Hanya ada satudua kendaraan saja yang melintas. Memecah genangan air di jalanan. Nenek Mardiyem pun kecipratan air yang dipecah roda mobil. Tak ada umpatan dari bibirnya. Dia tak bakat mengumpat orang. Boleh dibilang, dia seorang nenek yang pandai membungkus kepedihannya sendiri di dalam senyum.

Lantai pelataran toko yang sudah tutup, menyambut kelelahannya seharian bekerja di jalanan. Tanpa perasaan jijik, dia merelakan tubuhnya tidur di ubin yang kotor. Hanya beralas kardus bekas. Karung beras yang berisi barang-barang pulungannya, dia senderkan di pintu garasi toko yang berwarna hijau lumut. Bau busuk yang menyeruak dari tempat sampah di sebelahnya, tak pernah lagi tercium oleh hidungnya. Dia sudah kebal dengan bau-bauan itu. Sekebal dia menjalani kehidupan yang terasa berat sekali bagi kebanyakan orang.

Ya, di pelataran toko inilah dia tidur dan berteduh. Pelataran toko ini sudah menjadi semacam rumah bagi dia. Ini merupakan toko beras milik Pak Sudirto. Pak Sudirto sendiri tinggal bersama keluarganya di lantai dua toko ini. Dua bulan lalu, Pak Sudirto mengizinkan nenek Mardiyem untuk berteduh dan melepas lelah di pelataran tokonya. Mungkin dalam pikiran Pak Sudirto, nenek Mardiyem juga bisa turut menjaga toko miliknya. Atau istilah kasarnya jadi anjing penjaga. Tentu saja di dalam toko ini tertimbun beras berkarung-karung, karena ini memang toko beras. Tapi, di luar ada seorang nenek yang setiap hari berjuang demi beras yang tak seberapa. Ironis. Sebelum ‘menetap’ di sini, nenek Mardiyem tidur di sembarang tempat. Dia juga pernah punya rumah gubuk berdinding kardus bekas di kolong jembatan, sebelum digusur Satpol PP.

Sebetulnya, dia tak harus berkelana menggelandang seperti ini. Karena dahulu dia tinggal serumah bersama anak perempuannya, Martini, yang menikah dengan seorang direktur di pabrik kondom bernama Sudrajat. Menantunya ini bisa dibilang orang terpandang di lingkungan tempatnya tinggal. Rumahnya pun bak istana. Namun, entah setan apa yang merasuk tubuh menantunya. Suatu hari, menantu dan anaknya merencanakan untuk memasukkan nenek Mardiyem ke panti jompo. Tapi, niat itu didengar oleh nenek Mardiyem. Dan, akhirnya dia membuat keputusan untuk minggat dari rumah menantu dan anak tunggalnya. Meninggalkan mereka kurang lebih satu tahun lalu. Hidup bagai sampan yang terombang-ambing sendirian di sini. Di jalanan! Nenek Mardiyem juga termasuk perempuan yang terus-menerus gagal membina rumah tangga. Dia tercatat kawin-cerai sebanyak lima kali. Dari pernikahan-pernikahannya itu, dia memiliki tujuh orang anak, termasuk Martini. Tapi, tak seorang pun yang peduli dengan nenek Mardiyem. Hanya Martini yang bersedia ‘menampungnya’.

***

Sinar matahari mengganggu tidur nenek Mardiyem. Silau. Matanya seketika membuka. Hari telah kembali pagi. Perlahan, dia bangun dan duduk di lantai pelataran toko ini. Pintu garasi toko pun dibuka Pak Sudirto dari dalam.

“Baru bangun, nek?” kata Pak Sudirto. Pertanyaan ini selalu dia lontarkan setiap pagi kepada nenek Mardiyem.
“Iya...” jawab nenek Mardiyem. Jawaban yang selalu berulang setiap pagi, seperti kaset yang diputar terus menerus.

Lalu, Pak Sudirto kembali masuk ke tokonya. Menyapu di dalam. Pagi ini, pukul 07.00 WIB, saat anak-anak berangkat ke sekolah dan para pekerja bergegas ke kantornya masing-masing, nenek Mardiyem pun berkemas. Bukan ke sekolah atau ke kantor, tapi ke pengepul barang-barang hasil pulungannya kemarin. Dia bersiap. Merapikan lagi tumpukan botol dan gelas di dalam karung beras.

“Siap-siap nih, nek?” ujar istri Pak Sudirto yang berjalan dari dalam toko.
“Iya...” jawab nenek Mardiyem lirih.

Hampir tak terdengar suaranya. Tersamar dengan rengekan klakson angkot di pinggir jalan yang menunggu penumpang. Dia lalu menggembol kembali karung beras yang berisi barang pulungannya, dan pamit kepada Pak Sudirto dan istrinya.

“Pak, Bu...saya ke Mbak Darmi dulu ya...” pamit nenek Mardiyem.
“Oh, iya nek. Hati-hati...” jawab Pak Sudirto yang masih memegang sapu. Serta anggukkan kecil dari istrinya.

Lalu, dengan langkahnya yang lamban, nenek Mardiyem pun menyeberang jalan. Siklus kehidupan yang setiap pagi dia jalani. Pergi ke tempat pengepul barang-barang loak. Ke rumah gubuk sang pengepul, Mbak Darmi, di pinggiran kali yang sudah kotor oleh sampah yang mengambang juga bau busuk yang menyengat. Jaraknya sekitar dua ratus lima puluh meteran dari toko Pak Sudirto. Jarak yang cukup lumayan bagi nenek renta berusia enam puluh tahun ini.

Sesampainya di rumah Mbak Darmi, isi karung beras pun dikeluarkan semuanya. Kemudian, Mbak Darmi menghitung berapa uang yang pantas diberikan kepada nenek Mardiyem untuk hasil jerih payahnya seharian kemarin. Nenek Mardiyem hanya pasrah menunggu uang dari Mbak Darmi. Pasrah. Selalu pasrah setiap hari...

“Ini, nek. Dua puluh lima ribu untuk semuanya...” ujar Mbak Darmi sambil menyerahkan uang dua puluh lima ribu pecahan lima ribu.
“Iya, makasih Mbak Darmi...” ucap nenek Mardiyem menerima uang itu ikhlas. Matanya berkaca-kaca. Seolah-olah uang ini sudah dapat menggantikan peluhnya kemarin.

Dari sini, nenek Mardiyem kembali mengambil karung berasnya yang telah kosong melompong. Dan, dia akan kembali ke rutinitasnya: keliling mengumpulkan botol dan gelas plastik bekas sampai karung beras ini penuh.

***

Di pinggir jalan, nenek Mardiyem memunguti lagi botol dan gelas plastik bekas. Siang ini cuaca sangat terik. Memang sekarang cuaca tak lagi bisa ditebak. Hujan dan panas tak menentu datangnya. Keringat yang mengucur dari pipi keriputnya tampak jelas. Sesekali dia mengusapi sendiri keringat itu dengan lengan bajunya.

Sewaktu menyusuri trotoar jalan, mata nenek Mardiyem tertumbuk pada sebuah plang imbauan di pertigaan lampu merah. “Mengemis dan memberi sedekah kepada pengemis akan didenda maksimal 20 juta atau kurungan maksimal 60 hari.” Begitulah tulisan di plang itu. Lalu, dia berhenti sejenak. Duduk di trotoar jalan. Matanya yang tak lagi setajam elang, mengamati aktivitas orang-orang di sekitarnya. Lampu lalu lintas menyala merah. Mobil dan motor di hadapannya berhenti. Kemudian, entah dari mana, anak-anak kecil berbaju compang-camping mendekati mobil dan motor yang berhenti itu. Ada juga ibu-ibu yang menggendong bayi. Tangan mereka menjulur menengadah ke setiap pengemudi. Ada yang memberi. Ada pula yang mengacuhkan. Memorinya langsung berbalik ke beberapa tahun silam. Dia ingat, waktu itu menantunya pernah meludahi anak jalanan yang meminta-minta di lampu merah. Dalam diam, di kepalanya muncul sebuah pertanyaan, mengapa di kota ini ada peraturan yang mendenda dan memenjarakan siapa saja yang memberi sedekah kepada pengemis? Aneh. Bukankah seharusnya pemerintah memerhatikan mereka? Apakah ini usaha pengalihan atas ketidakmampuan pemerintah mengentaskan kemiskinan? Pikiran kritisnya menyeruak. Pikiran seorang nenek renta, ah siapa yang peduli...

“Nek...nenek Iyem!” tiba-tiba ada seorang perempuan memanggilnya dari arah belakang.

Dia menoleh.

“Iya...” katanya, membalas panggilan perempuan itu.

Yang ada di pikirannya tadi, disangka yang memanggil adalah anak perempuannya. Ternyata dugaannya salah. Perempuan yang memanggilnya juga pemulung. Satu profesi dengan dirinya. Perempuan yang berusia empat puluh tahunan ini bernama Ibu Endang. Sudah lima tahun dia menjalani profesi memulung setelah dicerai suaminya yang kawin lagi. Ibu Endang punya dua anak yang masih kecil-kecil. Dia sedikit beruntung daripada nenek Mardiyem. Ibu Endang tinggal di rumah petak semipermanen di bantaran kali bersama dua anaknya.

“Wah, nenek ke mana aja? Saya cari ke mana-mana kemarin...” kata Ibu Endang yang terbit senyum di bibirnya.
“Ada. Saya memulung di sana...” jawab nenek Mardiyem menunjuk sebuah jalan di seberang mereka.

Nenek Mardiyem lalu berdiri dari duduknya. Berusaha sopan kepada orang yang mengajaknya ngobrol.

Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

“Nenek tau nggak. Di sana, ada TPA[1] baru. Kita mulung di sana aja, gimana?” cerocos Ibu Endang masih sumringah.

Wajahnya ibarat orang yang habis mendapatkan undian rumah satu milyar. Semangat menggebu-gebu.

“Oh, gitu. Tapi, besok aja ya neng. Saya cape banget. Mau memulung dekat-dekat sini aja,” balas nenek Mardiyem sambil mengusapi lagi keringatnya yang mengucur.
“Oh, ya udah. Besok bareng aja, nek. Saya tungguin nenek di sini ya,” ujar Ibu Endang.
“Iya...Besok aja. Saya mau jalan lagi neng, mari...” pamit nenek Mardiyem dengan nada suara yang lesu.

Tenaganya seperti sangat terkuras memulung dari pagi sampai siang bolong. Guratan wajahnya tak bisa dibohongi. Nenek Mardiyem memang benar-benar butuh istirahat. Tapi, lagi-lagi demi urusan perut, dia berjalan lagi untuk memunguti botol dan gelas plastik. Meninggalkan Ibu Endang di sini sendirian. Ibu Endang pun tak lama berlalu. Menuju TPA dengan hati ceria...

***

Sewaktu menikmati makan malamnya, nasi bungkus dengan lauk satu tempe goreng,nenek Mardiyem mendengar adzan Isya yang menggema dari masjid di gang pinggir jalan. Bulu kuduknya merinding setengah mati. Tak seperti biasanya. Dia teringat, sudah lama dia meninggalkan Tuhan. Sudah lama dia tidak bersimpuh berdoa sampai berlinang air mata. Sudah lama dia tidak menjalani shalat. Nasi bungkusnya langsung dia lahap cepat-cepat. Belum habis lahapannya, seorang anak jalanan dengan ingus yang meleleh mendekatinya.

“Nek...minta nasinya, nek...” kata bocah ingusan itu dengan wajah memelas.
“Ini buat kamu. Kamu lapar ya? Ini, nenek sisakan untuk kamu makan...”ujar nenek Mardiyem seraya memberikan nasi bungkus yang tinggal setengahnya, serta tempe goreng yang juga tinggal setengah.
“Wah, makasih, nek!” sambut bocah itu gembira menerima nasi bungkus dari nenek Mardiyem.

Nenek Mardiyem hanya tersenyum. Mengusap rambut anak jalanan itu, dan segera melangkah ke sebuah masjid di gang dekat pertigaan lampu merah. Sebelum pulang, dia ingin menyampaikan keluh kesahnya kepada Tuhan. Menumpahkan seluruh unek-uneknya selama ini. Sebenarnya, tak jauh dari toko Pak Sudirto ada masjid megah yang berdiri kokoh. Konon kubahnya dari emas, dan dindingnya dari marmer pilihan. Tapi, dia hanya sekali dan terakhir berkunjung untuk shalat di sana. Ini disebabkan karena nenek Mardiyem diusir oleh penjaga masjid itu. Dia disangka tukang mencuri sandal masjid. Ah, betapa orang-orang sekarang picik. Kenapa lantaran pakaian yang kumal ini kita langsung dituduh garong. Dia juga pernah menyaksikan orang-orang berjubah putih menyerang sebuah rumah yang diduga tempat judi. Dia heran, mengapa mereka berbuat kekerasan? Mengapa tidak dibicarakn dulu baik-baik? Pikirnya waktu itu.

Di masjid ini, dia segera berwudhu, dan shalat di teras masjid. Memisahkan diri dengan jamaah lain. Bukan apa-apa, nenek Mardiyem takut mereka menjauhinya lagi, atau bahkan mengusirnya seperti yang pernah dia alami sendiri di masjid dekat toko Pak Sudirto. Selesai shalat, jamaah bubar. Mata-mata mereka memerhatikan nenek Mardiyem dengan pakaian yang lusuh masih duduk bersimpuh, tanpa mukenah. Mata-mata mereka, ya, mata-mata itu seperti menelanjanginya bulat-bulat. Tapi, nenek Mardiyem tak ambil peduli. Dia sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan sinis orang-orang di sekitarnya. Nenek Mardiyem masih duduk bersimpuh. Kedua tangannya diangkat dan berdoa penuh hikmat. Seketika, tanpa dia sadari, butir-butir air matanya menetes jatuh ke lantai. Dia berdoa, semoga anak dan menantunya dibukakan hatinya. Dia berdoa, semoga hidupnya selalu dilindungi Tuhan. Dia berdoa, Tuhan sudi mengangkat sedikit beban yang menimpa hidupnya selama ini. Dia berdoa dengan setulus hati, walaupun dia jarang shalat.

Malam semakin membungkus keheningan masjid ini. Seorang penjaga masjid hendak menghampirinya. Belum lagi penjaga masjid itu menegurnya, nenek Mardiyem segera melangkah dari teras masjid. Mengambil karung beras yang berisi botol dan gelas plastik bekas dan menggembolnya di punggung yang semakin membungkuk. Nenek Mardiyem pulang lebih awal dari kemarin. Kakinya tak sanggup lagi melangkah jauh. Badannya ingin segera merebah di lantai pelataran toko beras Pak Sudirtoyang dia tahu betapa keras, kotor, dan dinginnya alas tidurnya itu...

***

Pagi masih sangat perawan. Toko beras Pak Sudirto pun belum buka. Pagi ini nenek Mardiyem akan menepati janjinya kemarin. Bertemu Ibu Endang di pertigaan lampu merah, seberang restoran dealer motor terkemuka. Jaraknya lumayan jauh untuk ukuran kakinya yang sudah ringkih, sekira tiga ratus lima puluh meter dari toko beras Pak Sudirto. Namun, demi janji, dia pun bergegas. Dia juga ingin membuktikan ucapan Ibu Endang, yang katanya ada TPA baru. Bagi mereka, TPA adalah ladang uang. Kubangan duit yang akan mereka keruk sepuas-puasnya. Dengan tergopoh-gopoh, nenek Mardiyem mengawali langkah ke rumah Mbak Darmi. Seperti biasa, menyetor hasil pulungan kemarin dan menerima upah.

Setelah mendapat uang dari Mbak Darmi, nenek Mardiyem lalu bersemangat melangkahkan kaki ke pertigaan lampu merah. Menemui Ibu Endang di sana. Dari kejauhansamar-samardia sudah bisa melihat sosok Ibu Endang yang melambai-lambaikan tangannya. Ibu Endang juga telah siap dengan perlengkapan memulungnya: keranjang bambu dan besi pengait. Anaknya yang masih batita digendongnya dengan sehelai kain.

“Nenek, buruan! Nanti keburu banyak orang di sana!” teriak Ibu Endang.

Nenek Mardiyem berlari kecil. Sekuat-kuat tenaganya, dia berlari. Sesampainya di depan kios rokok kecil, tempat Ibu Endang menunggunya, segera tangan kanannya ditarik Ibu Endang.

“Ayo, cepet, nek!” perintah Ibu Endang tak sabar.
“Sabar...sabar, nak. Nenek cape...” keluh nenek Mardiyem masih terengah-engah.
“Ayo, nek, nanti rejeki kita dipatok ayam...” celoteh Ibu Endang. Tangannya masih memegang erat tangan nenek Mardiyem.

Sesampainya di depan TPA, mereka melihat para pemulung lain sudah berada di tengah ladang sampah yang melimpah. Memungut dan mengkait barang-barang rongsok di sana. Ibu Endang dan nenek Mardiyem pun tak ketinggalan bersemangat. Mereka lalu ngeluyur ke tengah timbunan sampah. Betapa senang mereka menemui gunungan sampah.

Mobil truk sampah baru saja tiba. Siap menuangkan kembali sampah-sampah yang mereka ambil dari beberapa lingkungan di kota ini. Mobil itu berhenti tepat di belakang nenek Mardiyem yang sedang asyik memulung botol dan gelas plastik.

“Nenek awas!” teriak Ibu Endang yang memulung tak jauh dari nenek Mariyem.

Nenek Mardiyem menoleh ke belakang. Terkejut. Dan dia pun tak bisa berbuat apa-apa. Supir mobil truk pengangkut sampah mendengar teriakan Ibu Endang, dan melongok ke belakang melalui jendela mobil, tapi dia sudah terlanjur menarik platuk untuk menumpahkan sampah-sampah yang ada di punggung mobil. Sampah-sampah itu pun mengubur nenek Mardiyem hidup-hidup. Kini, dia tinggal jasad. Dia tertimbun di antara sampah-sampah, termasuk gelas-gelas plastik yang menjadi sumber uang baginya. Sekarang, dia adalah manusia dalam gelas plastik...


sumber: kompas.com

Senin, 06 Desember 2010

ANGIN YANG TERBANG

Angin yang terbang
Menyelimuti burung-burung
Terbang dan burung bersama angin
Yang terbang

Angin melayang
Atas bumi menginjak langit
Mengekang burung-burung
Agar bisa terbang dalam angin melayang

Sementara dalam keterbatasan
Semua menuntut penerbangan
Mungkin bisa menjadi burung dalam angin

Panggung Jalanan

Oleh: Fandy Hutari


Dahulu, waktu aku masih kecil—setiap menjelang tidur—kakek selalu duduk di sebelah ranjangku yang sudah reot. Dia selalu mendongengkan aku soal pengalamannya di masa muda. Masa di mana dia masih sangat bersemangat dalam mengarungi hidupnya. Kakek adalah seorang seniman teater tradisional: wayang orang. Dia menghidupi almarhum bapak dari berkesenian. Keliling dari panggung ke panggung. Ayahnya kakek juga orang panggung. Kata kakek, buyut aku itu pemain teater yang terkenal di jaman Belanda. Darah seni itu pun mengalir ke tubuh kakek. Tapi, hanya terhenti di kakek. Sebab, bapak tak mau ambil peduli soal masalah kesenian.

Perlu kalian tahu, almarhum bapakku adalah pegawai kantor pos yang hari-harinya banyak dihabiskan di jalanan untuk mengantarkan surat keliling Jakarta. Waktu aku masih duduk di kelas tiga SD, ibu bercerai dengan bapak. Saat itu, aku tidak mengerti masalah orang tua. Aku tak mengerti apa yang ada di otak mereka itu. Menurutku terlalu rumit untuk dipikirkan. Mengapa menikah kalau akhirnya bercerai? Pikirku waktu itu. Namun, kakek pernah bilang, ibu menceraikan bapak karena tidak tahan hidup pas-pasan. Lalu, ibu mengambil keputusan yang membuatku membencinya hingga sekarang. Ia menikah lagi dengan seorang direktur sebuah perusahaan konfeksi dari Surabaya. Setelah kejadian itu, bapak depresi dan sakit-sakitan. Akhirnya malaikat maut menyabut nyawanya saat aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Kakek bilang, bapak meninggal karena serangan TBC dan kanker otak. Waktu itu, aku pun kurang paham jenis penyakit apa itu.

Sepeniggal bapak dan ibu, aku diurus kakek. Setelah tiga kali berpindah-pindah, sekarang kami menetap di rumah kontrakan kecil di bilangan Kwitang. Sejak kecil, cuma kakek yang paham duniaku. Aku suka membaca dan mencoret-coret catatan di buku tulis. Membuat cerita apapun yang tiba-tiba melintas di kepala. Lalu, kakek mendukungku dengan membelikan buku-buku cerita rakyat, seperti Malin Kundang dan Sangkuriang. Dari sini, aku mantapkan tekad suatu hari nanti akan jadi penulis dongeng. Hanya kepada kakek lah aku berani bercerita soal keinginanku kelak sudah dewasa itu. Dan, kakek mendukungku. Suatu hari, beliau memberiku tiga pesan: jadilah dirimu sendiri, kejarlah cita-cita dan idealismemu sampai ke manapun, dan hidup semata-mata cuma perjuangan. Tiga pesan itu aku ingat. Aku pegang erat-erat... ***

Aku salut sama kakek. Kakek berhasil membiayai pendidikanku sampai aku lulus SMA. Setelah itu, aku tak melanjutkan ke bangku kuliah. Sebenarnya keinginan untuk melanjutkan ada, tapi terbentur masalah klise: biaya. Namun, aku berharap suatu hari nanti, aku bisa melanjutkan pendidikanku. Tentu dengan hasil keringatku kelak.

Entah uang darimana kakek bisa menanggung biaya sekolahku itu, karena setahuku waktu aku duduk di bangku kelas satu SMA, dia sudah vakum dari dunia panggung. Ya, di Jakarta ini hiburan panggung yang menyajikan kesenian tradisional dari waktu ke waktu semakin ditinggali orang. Mungkin secara tidak langsung ini imbas dari semakin berkembangnya teknologi. Orang enggan meluangkan waktu untuk sekadar menonton pertunjukan wayang orang. Mereka lebih baik mengisi waktu senggang ke tempat-tempat hiburan yang hanya mementingkan hura-hura saja, seperti cafe, mal, bioskop, atau taman hiburan. Terakhir, aku lihat kakek manggung bersama rombongan ‘rentanya’ di kampung dekat sini, saat diundang untuk mengisi acara hajatan. Aku lihat, penonton sangat sepi. Bisa kuhitung dengan jariku. Namun, mereka tetap total bermain di atas panggung. Menjilati getirnya tatapan sinis penonton yang semakin gagu akan seni tradisi bangsa sendiri. Tak lama setelah itu, rombongan wayang orang kakek pun bubar. Punah ditelan mentah-mentah oleh congkaknya jaman. Beberapa anggotanya juga sudah ada yang meninggal dunia. Semenjak rombongannya bubar, aku sering melihat kakek keluyuran dari pagi sampai malam. Entah ke mana. Jika aku tanya, hingga kini mulutnya masih dikunci rapat-rapat. ***

Sekarang, aku sudah menjadi cerpenis. Ya, walaupun hanya cerpenis kacangan yang tidak dikenal orang. Namun, lumayan, aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Lagi pula aku tak peduli dengan popularitas. Aku kan bukan selebritis. Meskipun aku hanya tamatan SMA, aku tidak minder untuk menceburkan diri ke dunia yang aku sukai ini. Toh semua orang bisa jadi penulis kan? Tak peduli dia sarjana, tukang becak, anak kecil, kuli bangunan, guru, atau profesor, semuanya punya bakat menulis jika benar-benar diasah dengan baik. Hampir setiap minggu honor mengalir dari beberapa media yang sudah menjadi langganan cerpenku. Sebenarnya, sekarang kakek tak perlu khawatir soal masa depanku. Aku juga mampu membayar sewa rumah ini dengan honorku. Juga tambahan dari berjualan majalah bekas di perempatan lampu merah Senen. Dari honor yang kusisihkan, aku bisa membangun kios majalah kecil berbahan dasar papan. Di pinggir kiri-kanan kiosku juga ada beragam tempat usaha, mulai dari penjual buku-buku bekas dan majalah seperti aku, jasa pembuatan kunci duplikat, servis komputer, sampai penjual pulsa telepon seluler. Sekarang aku bisa mandiri. Harusnya kakek dapat bersantai-santai di rumah. Tidur atau menonton televisi 14 inchi yang kami punya. Tapi, aku heran, kenapa kakek di hari-hari tertentu masih sering ke luar rumah dari pagi sampai sore.

“Mau ke mana, kek?” tanyaku, hampir setiap kali saat aku lihat dia ingin ke luar rumah dengan gembolan kain di pundaknya. “Ah, ada urusan sebentar...” jawabnya, langsung ngeluyur ke luar rumah. Selalu itu jawabannya.

Semenjak aku lulus SMA, pasti pukul 09.00 WIB, setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, kakek ke luar rumah membawa gembolan. Dulu, waktu aku belum lulus—hampir setiap pagi berbarengan dengan kepergianku ke sekolah—kakek selalu ke luar membawa gembolan. Sekarang—seperti sudah diatur sedemikian rupa—setiap kakek ke luar, aku selalu sedang sibuk membereskan majalah-majalah bekas yang akan dijual nanti di perempatan. Sebelum matahari berada tepat di atas ubun-ubun, aku berangkat ke perempatan jalan, membawa tas gemblok yang berisi majalah-majalah bekas. Menjajakan bahan bacaan ke setiap orang yang melewati kiosku yang cuma sepetak, berbentuk kotak. ***

“Hei, Sat, belum beres-beres nih?” tanya Radit, pengamen jalanan yang juga teman curhatku di sini.

Aku yang sedang membaca di dalam kios, lalu menghampiri dia yang berdiri di depan kiosku. “Belum. Masih sore lah. Sebentar lagi. Duduk, Dit,” sahutku, seraya duduk di bangku panjang depan kios.

Radit pun duduk di sebelahku. Gitarnya ditaruh di pangkuan pahanya. Dagunya ditopang di gitarnya. “Gimana ngamen hari ini?” tanyaku kepada pemuda urakan berpakaian serba hitam ini. “Yah, lumayan, Sat. Dapet dua puluh ribu mah,” jawabnya, diiringi senyum yang dipaksakan. Wajahnya lalu tertunduk. Aku merasakan tarikkan napasnya yang panjang-pendek.

Kami terdiam. Ada jeda di sini. Radit mengamati tanah yang dipijak oleh sandalnya. Aku memerhatikan wajah lesunya. Aku kenal Radit dari SMP. Dulu dia teman sebangkuku, sebelum akhirnya tak melanjutkan pendidikan ke SMA. Bapaknya kena PHK, dan habis itu hancurlah pendidikan dia. Kebalikan dari aku, ibunya meninggal saat melahirkannya. Setelah di PHK, bapaknya merantau ke Lampung. Dan, hingga kini bapaknya tak kunjung pulang. Radit hanya diasuh oleh tantenya yang cuma penjual lontong sayur. Menurutku, Radit hebat. Di tengah hidupnya yang serba rumit dan sulit melebihi hidupku, dia masih sanggup untuk bertahan. Dia mampu mencari uang sendiri sejak putus sekolah. Aku akui, dia memang berbakat di musik. Waktu SMP dulu, dia sering dikirim sekolah kami untuk ikut perlombaan menyanyi atau bermain musik antarsekolah se-Jakarta. Walaupun belum pernah juara, tapi toh kemampuannya itu sudah dilirik oleh guru-guru di sekolah kami. Jika digelar pentas seni di sekolah, Radit pun kerap bernyanyi dan bermain gitar di atas panggung. Saat ini, jalanan bagi Radit adalah sebuah panggung.

“Udah laku berapa, Sat? Sat...Satrio...Sat!!!” Teriaknya tepat di telinga kananku. Aku terperanjat. Hampir saja jatuh dari bangku ini. Seketika itu juga lamunanku pun buyar. “Eh...Hehe. Sori, ngelamun tadi. Baru aja kebeli sepuluh,” jawabku kikuk. “Lumayan lah...” tambah Radit. “Alhamdulillah...”

Hari semakin gelap. Siraman sinar senja perlahan-lahan tergantikan oleh cahaya lampu jalanan. Radit pun kembali ke jalanan: mengamen. Ya, aku lihat lalu lintas padat. Orang-orang yang bekerja, pulang di waktu yang hampir bersamaan. Kendaraan mereka tumplek jadi satu di jalanan. Bagi Radit, macet merupakan ladang uang. Aku menutup kios. Membawa beberapa majalah ke rumah, juga hasil jerih payah hari ini.

Ketika adzan Maghrib berkumandang, aku sudah sampai di rumah. Dan, saat membuka pintu rumah, aku selalu dan selalu menjumpai kakek tertidur di bangku ruang tamu. Selalu memergokinya dengan guratan wajah yang tampak kelelahan sekali. Selalu menjumpai gembolannya digeletakkan begitu saja di bawah. Tepat di dekat kakinya yang kurus. Tapi, belum pernah sekalipun aku lancang membuka isi gembolan kain itu tanpa sepengetahuannya. Di rumah, seperti biasa, aku akan makan dan beristirahat sebentar. Lalu mengetik cerpen sebelum terlelap. ***

Hari ini begitu semarak dibanding hari kemarin. Anak-anak di lingkunganku terlihat sibuk mempersiapkan diri mereka untuk berlomba. Kemudian di antara mereka berlari menghambur bagaikan daun kering yang diembus angin. Mereka melewatiku yang tengah melangkah menuju kios. Bendera merah-putih pun menancap di setiap sudut. Menghiasi halaman-halaman rumah yang aku lewati. Rangkaian bendera merah-putih berukuran mini juga melintang di atas kepalaku. Dijejerkan dengan tali yang saling mengait. Ya, benar, sekarang 17 Agustus. Itu berarti pesta memperingati hari kemerdekaan digelar di mana-mana. Mereka sibuk menggelar perlombaan, acara musik, serta upacara. Sedangkan aku—seperti biasanya—harus kembali ke kios untuk berjualan majalah. Untuk mencari nafkah.

Waktu merambat cepat. Sampai menjelang siang, orang-orang hanya hilir mudik melewati kiosku. Ada juga beberapa yang cuma membaca-baca saja majalah yang aku pajang menghadap jalan. Sesekali aku menyaksikan konvoi kendaraan yang dominan warna merah-putihnya. Ada pula iring-iringan karnaval yang sebagian besar terdiri atas anak-anak. Ramai sekali. Aku masih duduk sendirian di dalam kios. Memerhatikan mereka yang penuh semangat dan rona wajah gembira.

“Sat...Satrio! Ada air nggak lo?” tiba-tiba Radit mengaggetkanku dengan teriakannya itu. Dia terlihat panik sekali sembari memapah seorang bapak tua. Dengan tergesa-gesa dia langsung duduk di bangku panjang depan kios. “Ada...ada. Kenapa?” tanyaku, keluar menghampirinya. Aku perhatikan, bapak tua yang dipapahnya tadi terlihat sangat kelelahan. Seperti habis berlari jauh sekali. Keringat mengucur dari pipinya yang kurus dan keningnya yang mengeriput. “Cepet, bapak ini butuh air!” perintah Radit, “Dia habis dikejar-kejar preman karena nggak mau ngasih duit hasil ngamennya tadi,” lanjutnya dengan napas yang masih tersengal-sengal.

Segera aku masuk kembali ke dalam kios. Menuangkan air bening dari botol plastik minuman mineral ukuran satu liter ke dalam gelas plastik yang selalu kusiapkan di sini. “Ini...” kataku, menyerahkan air di gelas plastik itu kepada Radit.

Lelaki tua berbalut make-up tebal berwarna putih kombinasi hitam di alis dan jidatnya, serta merah di pipi kanan-kirinya—mirip wajah punakawan—itu langsung menenggak habis air yang kubawakan tadi, tak tersisa. Bapak tua ini juga mengenakan kostum layaknya seniman wayang orang begitu. Ada pula sehelai selendang berwarna hijau yang melilit di lehernya. “Gimana kejadiannya, Dit?” tanyaku penasaran.

Aku perhatikan wajah si bapak tua itu. Namun, dia seperti mengacuhkan pandanganku. Memalingkan muka sebisa-bisanya. Aku tak bisa mengenali wajahnya, sebab terbungkus make-up putih itu. Tapi melihat bentuk tubuhnya, sepertinya aku mengenalinya.

“Habis ngamen, bapak ini istirahat di depan kios rokok. Terus duitnya diminta sama Kang Juned dan temen-temennya. Kang Juned preman perempatan lampu merah depan mal sana, Sat. Tapi dia nolak. Terus dia mau dipukuli sama mereka kalo nggak ngasih duitnya. Gua ngeliat kejadiannya. Terus gua papah aja dia untuk lari. dan, langsung aja gua bawa ke sini. Tadinya dia nolak untuk gua bawa ke sini...” cerocos Radit. “Lho, kenapa nolak?” aku penasaran. Dahiku menaik. “Nggak tau...” jawab Radit. “Ya udah istirahat dulu aja...” kataku memberi senyum kepada bapak naas itu. Tapi, lagi-lagi dia menghindari tatapanku. “Bapak ini udah gua anggap bapak gua sendiri, Sat. Kasian. Dia udah tua, tapi masih banting tulang untuk cucunya. Untuk hidupnya. Dia jadi badut-badutan di perempatan lampu merah depan mal sana tuh,” ujar Radit menunjuk ke arah utara dari kami, “Menari-nari di setiap mobil yang berhenti. Katanya, dia ngurus cucunya setelah cucunya itu hidup sendirian. Bapaknya udah meninggal dunia katanya. Terus ibunya udah nikah lagi sama orang Jakarta...” celoteh Radit dengan raut muka memelas.

Aku lalu duduk di sebelah bapak tua itu. Melihat dalam-dalam wajahnya. Dia menunduk. Aku memerhatikannya lebih dekat. Lebih dekat. Lebih dekat hingga hampir saja dia tercium olehku. “Heh, kenapa, Sat? Lo ngeliat Pak Darta gitu banget?” tegur Radit. “Pak Darta? Kakek?!” tebakku. Dia masih diam dan tertunduk. “Ini kakek kan? Kenapa sih kakek pake nyari duit di jalanan segala?” aku mendesaknya untuk berkata,”Aku kan udah bisa nyari duit buat kakek,” lanjutku terus menatap wajahnya yang dilipat itu. Tak lama, wajahnya diangkat. Dia balik memandangku. Mata kami bertabrakan. “Iya, Satrio, ini kakek...” jawabnya seperti berbisik. Aku terperanjat. Hampir saja aku marah, karena kakek berbuat begini demi aku. “Kenapa kakek nyari duit begini?” tanyaku lagi. Emosi di dada aku redam dalam-dalam. Aku berusaha berkata lembut demi kakek. Demi orang yang aku cintai ini. “Maaf, Satrio, kakek nggak berani bilang sama kamu. Selama ini kakek menghidupimu dari panggung jalanan. Demi cita-cita kamu yang pingin jadi penulis hebat, Satrio. Maaf, kakek takut nanti kamu malu sama teman-temanmu. Sampai sekarang kakek pingin mandiri. Nggak mau ngerepotin Satrio yang berusaha nulis untuk cita-cita kamu itu,” jawabnya.

Aku pandang matanya yang berkaca-kaca. Seperti ingin menangis, tapi dia tahan. Bodohnya aku yang tidak tahu pekerjaan kakek selama ini. Bodohnya aku yang membiarkannya menghidupi diri sendiri di jalanan. Spontan aku memeluknya erat-erat. Aku merasa, seperti sudah lama sekali tidak berjumpa dengan kakek. Seperti melepaskan kerinduan yang amat dalam. Air mata kami pun tumpah seketika. Radit masih terdiam dalam duduknya. Memerhatikan kami.

“Pak Darta kakek lo, Sat?” tanya Radit sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Aku tak membalas pertanyaannya. Begitu juga kakek. Kami larut dalam suasana haru. Menurutku, ini adalah hadiah yang sangat istimewa di hari kemerdekaan. Aku mengetahui perjuangannya menghidupi dan menanggung seluruh biaya pendidikanku hingga aku lulus. Aku menarik satu hikmah dari perjuangan kakek. Dia menuntut aku untuk terus berjuang demi menggapai cita-cita dan menghidupi diri. Kakek, aku mencintai pengorbananmu. Aku akan selalu pegang tiga pesanmu: jadilah dirimu sendiri, kejarlah cita-cita dan idealismemu sampai ke manapun, dan hidup semata-mata cuma perjuangan. Sampai kapan pun...Aku janji.

Jakarta-Bandung, 20-25 Juli 2010 Fandy Hutari, penulis buku, esais, cerpenis, dan wartawan tanpa surat kabar. Buku yang sudah diterbitkan: Sandiwara dan Perang, Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (2009); dan Ingatan Dodol (2010). Satu buku dalam proses penerbitan: Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal. Esai dan cerpennya bisa dimuat berbagai media cetak maupun online. Pernah menjadi editor, wartawan, dan ghostwriter di Jakarta. Bekerja di Bandung. Email: fandyhutari@yahoo.com. Facebook: Fandy Hutari.

sumber: kompas.com

Eyang Memelukku Sambil Menangis

Cerpen oleh : Yessi Greena W Purba

Akhir pekan pasti selalu seperti ini, mobil-mobil terparkir di halaman rumah Eyang yang luas. Kemudian di ruang tengah akan terlihat anak-anak kecil yang sedang bercengkerama dengan seorang lelaki tua yang masih tampak kuat dan sehat, Eyang Raka, begitu aku memanggilnya. Anak kecil yang jumlahnya ada tujuh orang itu sepertinya berebutan untuk mendapat perhatian Eyang, mereka melompat-lompat, tertawa, teriak-teriak dan melompat ke pangkuan Eyang. Di ruang depan pasti ada tiga orang laki-laki berusia sekitar 30-40 an tahun, sedang duduk santai sambil bercerita tentang apa saja. Di dapur ada perempuan yang sedang memasak sambil ngobrol dengan Eyang putri, sedang yang lain ada di taman belakang rumah sedang memperhatikan tanaman bunga yang sedang mekar.

Eyang Raka punya tiga orang anak laki-laki, ketiganya sudah menikah. Anak pertama bernama Dani, dia seorang pejabat di sebuah departemen, menikah dengan seorang dosen cantik dan kini sudah punya tiga orang anak. Anak kedua namanya Rendi, seorang dokter, menikah dengan seorang wanita karir dan sudah punya dua orang anak. Dan yang satunya lagi adalah Angga, seorang pengusaha sukses yang punya istri cantik dan dua orang anak yang sangat menggemaskan. Jadi Eyang Raka punya tujuh cucu, delapan kalau ditambah aku. Dan punya tiga anak, empat kalau ditambah ibuku.

Aku tidak pernah bisa bergabung dengan mereka, entah mengapa aku seperti merasa lain. Padahal mereka sangat baik, ramah dan sepertinya sayang padaku. Om Dani misalnya, dia selalu membawa mainan baru untukku. Om Rendi juga, Om Angga juga. Tapi entah mengapa, sepertinya aku merasa asing dengan mereka. Dan belakangan baru kusadari aku tidak menyukai kehadiran mereka. Akhir pekan menjadi hari yang sangat kubenci. Kalau bisa akhir pekan ditiadakan, apalagi hari libur. Hari-hari terasa sangat lambat kalau ada mereka. Rumah jadi ramai, ribut, berisik dan yang pasti Eyang Raka tidak punya waktu untukku.

“Sesekali ikut ke Jakarta yuk, Mas. Kamu kan belum pernah ke rumah,” ujar Tante Hani – istri om Rendi ketika mereka hendak berpamitan pulang.

Aku tak menjawab, hanya menunduk dan kemudian sembunyi di belakang Eyang Raka.
“Dimas biar disini saja, nemenin Eyang,” ujar Eyang Raka sambil mengacak rambutku. Sementara Eyang Putri sedang asik berpelukan dengan menantu dan cucu-cucunya.

Hanya beberapa menit kemudian, mobil-mobil itu sudah hilang dari pandangan. Eyang Raka dan Eyang Putri masih berdiri sambil melambaikan tangan, tapi aku segera masuk ke dalam rumah yang masih berantakan.

“Bahagia sekali ya, Pa melihat anak-anak kita,” terdengar suara Eyang Putri, mereka sudah duduk di teras depan.
“Cucu- cucu kita lucu-lucu ya," itu suara Eyang Raka
“Tapi mereka masih kecil-kecil, dari tujuh orang yang paling besar baru kelas empat SD. Mama takut tidak sempat melihat mereka tumbuh besar seperti ayah-ayahnya.”

Aku menunduk sedih, tujuh? Bukannya delapan, yang? Dan lagi, aku kan sudah besar yang? Sebentar lagi aku sudah masuk SMP? Apa Eyang lupa kalau aku juga cucu Eyang?

“Dimas kan sudah besar, sebentar lagi dia masuk SMP.” Itu suara Eyang Raka. Setelah itu tidak ada suara, akupun kemudian beranjak pergi. Masuk ke kamarku, mencoba membaca buku walau pikiranku melayang entah kemana.

Eyang putri sepertinya tidak menyukaiku, terasa sekali dia membedakan aku dengan ketujuh cucunya yang lain. Dulu aku tidak tahu apa salahku, tapi akhirnya pertanyaan itu terjawab lewat cerita mbok Inem, orang yang dari dulu ikut Eyang untuk bantu-bantu di rumah. Selama ini juga aku merasa aneh, karena teman-temanku pasti tinggal bersama ayah dan ibunya. Kalaupun tinggal di rumah Eyang, pasti sesekali ayah dan ibunya datang. Tetapi tidak dengan aku.

Ternyata kehadiranku tidak pernah diharapkan, dulu ibuku hamil di luar nikah. Waktu itu ibu belum genap setahun masuk kuliah di kota. Kekasihnya mau bertanggungjawab tapi Eyang Raka tidak mau menikahkah ibu. Kemudian lelaki itu diusir waktu datang ke rumah, dan waktu itu Eyang Raka mengatakan padanya bahwa Eyang tidak akan membiarkan ibu melahirkan anaknya. Lalu lelaki itu pergi dan tidak pernah kembali lagi. Setelah melahirkan aku, ibu sakit-sakitan dan kemudian meninggal ketika aku baru berusia empat bulan. Aib yang sangat memalukan itu ternyata telah membuat Eyang Putri sepertinya tidak bisa menerimaku seperti cucu-cucu lainnya. Setidaknya seperti itulah yang kurasakan.

Mengetahui statusku yang seperti itu akupun menjadi berubah pendiam dan agak pemurung. Kadang-kadang aku menangis sendiri di kamarku, cengeng sekali, padahal aku kan anak laki-laki. Sedih sekali rasanya melihat temen-temenmu tumbuh dengan kasih sayang ayah ibu mereka, sedang kau tidak pernah merasakan kasih sayang ayah dan ibumu. Bahkan bertemu pun tidak pernah. Dan yang lebih menyakitkan, kau lahir tanpa ayah. Akupun akhirnya mengerti kenapa Eyang bersikap seperti itu. Dan karena itulah akhirnya aku merasa asing dengan anak-anak Eyang yang datang setiap akhir pekan. Apalagi dengan cucu-cucu nya. Aku merasa tidak berguna dibanding mereka, mereka sangat berbeda denganku. Perasaan itu selalu datang setiap kali mereka datang. Kadang-kadang aku ingin pergi, tapi ke mana aku pergi? Aku juga tidak mau meninggalkan Eyang Raka. Beliau sayang padaku, aku juga sangat menyayanginya. Meski dia kadang kurang perhatian bila cucu-cucunya datang, pancaran kasih sayang dari wajahnya tidak berkurang. Rasa takut pun kemudian muncul di hatiku. Eyang Raka sudah tua, bagaimana nanti kalo beliau wafat?

Seiring dengan berjalannya waktu, akhir pekan yang biasanya selalu ramai pelan-pelan berubah menjadi biasa saja. Kehadiran mereka setiap akhir pekan ternyata sudah tidak bisa dilaksanakan karena kesibukan-kesibukan mereka yang mungkin jauh lebih penting. Lalu mereka hanya datang sebulan sekali, itupun tidak lengkap semuanya. Kemudian mereka sangat jarang datang, hanya ketika lebaran saja dan itu pun cuma sebentar. Dan Eyang pun tampak lebih tua sekarang.

Ketidakhadiran mereka memberi rasa nyaman tersendiri buatku. Seluruh perhatian Eyang Raka hanya untukku, dan Eyang Putri pun sepertinya mulai berubah, kurasa karena hanya ada aku. Ketujuh cucu yang lain sudah sangat jarang datang. Mereka pasti sudah besar-besar. Aku pernah melihat salah satu dari mereka di sinetron yang sedang tayang di televisi.

Tiba-tiba Eyang Putri masuk rumahsakit, kata mbok Inem serangan jantung. Masih kata mbok Inem, Eyang tiba-tiba pingsan setelah mendengar berita tentang anak-anaknya di kota. Tidak tanggung-tanggung, aku saja yang mendengar berita tiba-tiba lemas, padahal aku tidak begitu menyukai mereka. Om Dani ternyata sudah dua bulan ini menjadi tersangka korupsi di departemen yang dipimpinnya, istri dan ketiga anaknya sudah mengungsi ke luar negeri. Berita-beritanya sudah dari dua bulan yang lalu ada di koran dan televisi. Belum cukup hanya Om Dani, Om Rendi juga sedang ribut dengan istrinya dan sedang dalam proses perceraian. Kabarnya mereka sedang berebut harta gono-gini dan hak asuh anak. Dan yang terakhir Om Angga juga mendapat masalah yang tidak kalah peliknya, ribuan karyawannya sudah beberapa unjuk rasa dan mogok kerja menuntut kenaikan upah. Pantes saja Eyang Putri pingsan dan langsung masuk rumahsakit mendengar berita mengejutkan itu.

Kudapati Eyang Raka sedang termenung sambil menghisap cerutunya di beranda belakang rumah. Pandangannya jauh menatap kedepan, aku tahu apa yang sedang dipikirkannya.
“Eyang…,” ujarku ragu takut mengusiknya.
“Duduk sini!” ujarnya sambil menunjuk kursi rotan di sebelahnya
“Eyang putri….?”
“Tidak apa-apa. Eyang baru saja pulang dari rumahsakit, sekarang banyak tetangga-tetangga yang menungguinya.”
“Eyang…,” aku ragu untuk melanjutkan pertanyaanku. Aku ingin tahu tentang om-om ku itu. Tapi ternyata Eyang Raka sudah tahu maksud hatiku.
“Tentang itu Eyang sudah dengar dari awal, makanya Eyang tidak pernah bawa koran ke rumah dan jarang melihat televisi supaya Eyang Putri mu tidak tahu, tapi ternyata bagaimanapun kita menutupinya, pasti ketauan juga. “ terpancar jelas luka yang dalam di wajah Eyang. Kasihan Eyang, mereka kan sudah tua.

“Dari dulu Eyang sudah mengingatkan mereka untuk selalu hati-hati dan selalu memakai hati. Tapi…” Eyang Raka menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku hanya bisa diam dan tahu harus bagaimana.
“Eyang tidak tahu salah dimana mendidik mereka, Mas. Eyang heran kenapa semua anak Eyang bermasalah. Eyang sudah gagal. Sebenarnya kegagalan itu sudah Eyang dapatkan delapan belas tahun yang lalu, saat kepergian Sinta ibumu. Tapi ternyata kegagalan-kegagalan yang lebih besar datang dari anak-anak Eyang yang lain.” Mata Eyang Raka berkaca-kaca, kesedihan menyelimuti wajahnya. Aku hanya bisa menunduk diam.

Tiba-tiba, ”Maafkan Eyang, Mas. Kalau saja dulu Eyang tidak bersikap seperti itu, pasti sekarang kau punya ayah dan ibu. Eyang sudah tua, dengan siapa nanti kau tinggal. Eyang tidak mungkin menitipkanmu pada om-om mu. Eyang tidak ingin kelak kamu seperti mereka.” Eyang memelukku sangat erat, dan…Eyang menangis. Eyang Raka yang selama ini kukenal paling tegar ternyata bisa menangis. Akupun tidak dapat menahan airmataku.

“Maafkan Eyang, le,” diusap-usapnya kepalaku. Penyesalan yang mendalam jelas tersirat di wajah tuanya.

Kesedihan Eyang ternyata lebih pada penyesalan pada sikapnya di masa lalu pada ibuku. Penyesalan itu lebih membebani hatinya daripada berita tentang anak-anaknya yang sedang bermasalah. Tapi benarkan Eyang yang salah? Bukankah ibuku meninggal karena sakit? Dan itu sudah takdir. Entahlah, aku tidak tahu.

Aku masih menangis, kupeluk Eyang lebih erat. Tiba-tiba aku merasa sangat berharga.***YC
Salatiga, 2005


http://yessigreena.wordpress.com

7 Kupu-kupu Bersayap Ungu


Cerpen Deni oktora


“Kakek, bisa ceritakan aku tentang patah hati?” “Mengapa?” “Karena aku belum tau rasanya patah hati. Sementara banyak dari mereka yang mengakui sudah pernah patah hati.” “Itu karena kamu belum dewasa, mungkin kelak bila sudah dewasa kamu akan memahaminya.” “Tapi terlalu lama bila aku harus menunggu sampai dewasa, bisa kakek ceritakan sekarang?” “Baiklah, Kakek akan menceritakan seorang pria yang sedang patah hati.” “Siapa nama pria itu kek?” “Audy” “Lantas siapa yang membuat hatinya patah.” “Seorang gadis yang amat dicintai tentunya.” ** Audy kecil selalu terpikat dengan kupu-kupu yang memiliki sayap keunguan. Di matanya kupu-kupu dengan sayap berwarna ungu memiliki keindahan tersendiri bagi kedua bola matanya yang bulat. Setiap pulang sekolah tak pelak ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah taman kecil di belakang sekolah. Mencari kupu-kupu bersayap keunguan. Mengamatinya beterbangan mengelilingi bunga-bunga. Dan ketika mereka terbang mengepakkan sayapnya nan keunguan itu lantas audy terperanjat dengan riang seraya berkata Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini.

Ketika beranjak dewasa Audy menemukan kupu-kupu itu kembali di sekolahnya. Kupu-kupu itu masih sama dengan seperti yang dulu. Masih cantik. Menawan. Elok. Dan memiliki warna keunguan yang mampu membuat kedua bola matanya mengembang saat dilihat terbang melintas di hadapannya. Kupu-kupu itu kini berwujud sesosok gadis peranakan tionghoa. Namanya Nik-nok. Terdengar aneh mungkin di daun telinga. Tapi percayalah kalau kecantikan gadis itu hampir menyamai kupu-kupu bersayap ungu yang dahulu kerap dijumpainya di taman mungil dekat belakang halaman sekolah.

Bila kupu-kupu yang kerap ia jumpai di taman memiliki keindahan sayap berwarna keunguan layaknya bunga lembayung, maka Nik-nok memiliki keindahan kardigan yang sewarna semburat cahaya senja nan keunguan. Setiap hari Audy mengamati gerak-gerik Nik-nok di sekolah. Di dalam kelas, Audy mengamati wajah Nik-nok dari ujung meja paling belakang sembari senyam-senyum sendiri mirip orang imbisil. di dalam perpustakaan Audy mencoba mengintip wajah Nik-nok dari balik kamus oxford atau buku seri ensiklopedia.

Ia sengaja memilih kedua buku itu karena ukurannya yang besar dan lebar yang dirasa cukup untuk menyembunyikan wajah dungunya. Pun di dalam kantin Audy selalu sengaja memesan Mie ayam mang dayat karena ia tahu kalau Nik-nok suka memesan mie ayam buatan mang dayat dan makan bersama kedua teman-temannya. Biasanya setelah memesan ia masih saja sengaja memilih kursi yang letaknya agak jauh dari Nik-nok (Kadang di belakang). sembari menyeruput Mie Ayam, Audy (lagi-lagi) hanya bisa senyam-senyum sendiri menatap punggung Nik-nok yang terbalut kardigan ungu. Jauh di dalam hatinya Ingin rasanya ia berbisik lembut di daun telinga Nik-nok, Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini.

Tujuh hari lagi menuju valentine. Audy terkesiap. Ia sadar kalau tanggal 14 pada bulan Februari di sekolah akan menjadi hari ungkapan kasih sayang bagi setiap kaum pria kepada wanita yang disukai. Entah apakah wanita itu teman sekelas, lain kelas, adik kelas, atau kakak kelas. yang pasti pengungkapan rasa kasih sayang di hari valentine akan meninggalkan makna yang mendalam bagi romantika hubungan percintaan di kalangan para murid. Ditambah sebuah mitos di kalangan sekolah yang meyakini bahwa setiap Pria yang mengungkapkan perasaannya pada wanita yang disukainya tepat pada hari valentine tiba maka niscaya wanita itu akan menjadi cinta sejatinya kelak.

Pak Sitok menjadi buktinya. 12 tahun lalu saat ia menjadi siswa di sekolah ini pernah mengungkapkan isi hatinya dengan cara membaca sajak cinta menye-menye karangannya sendiri saat jam istirahat di kelas dimana wanita itu berada. Wanita itu bernama Dian Ningsih. Dan Kini keduanya telah memiliki dua orang anak lelaki kembar siam yang lucu-lucu, keduanya duduk di bangku TK di sekolah ini jua. Kini keduanya sama-sama mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di sekolah ini. Hanya saja Bu Dian Ningsih mengajar Bahasa Indonesia, sementara pak Sitok mengajar Sejarah.

Namun Audy masih setengah hati untuk meyakini kebenaran mitos ini. Karena ia ingat betul nasib sahabatnya bernama Deni. Pria itu, cintanya pernah di tolak tepat di hari valentine oleh gadis berparas manis yang senyumnya serupa untaian kalung permata. Semenjak itu Audy kerap melihat Deni menceracau sendirian di dalam kelas sembari menangis sesegukan. Kadang ia mendapati Deni membaca sajak khalil gibran—yang kesemuanya bertemakan patah hati—dengan lantang di perpustakaan. Di toilet. Bahkan di pelataran parkir motor. Barangkali ia sudah gila. Batin Audy. Tentu Audy tidak ingin berakhir seperti nasib sahabatnya itu.

Di hari valentine, Audy berencana untuk mengungkapkan isi hatinya kepada gadis peranakan tionghoa tersebut. Namun ia tidak akan membeli cokelat atau kartu valentine saat pengungkapan nanti di sekolah. Ia tidak ingin melakukan hal-hal klise seperti para pria kebanyakan lakukan. Maka yang dilakukannya adalah setiap sore menyempatkan diri untuk pergi ke taman mungil yang berada di belakang sekolahnya dahulu saat ia menjejak SD.

Di situ ia mencoba menangkap aneka kupu-kupu bersayap keunguan dengan jaring. setiap hari ia mendapati satu kupu-kupu dengan sayap yang tersaput warna ungu. Ia mengumpulkan total sebanyak tujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya di awetkan dan di taruh satu persatu dalam satu barisan untuk kemudian di letakkan dalam bingkai kaca.

Hari valentine berkumandang. Audy sudah siap dengan bingkai kaca yang berisikan 7 buah kupu-kupu bersayap keunguan. Saat jam istirahat tiba. Audy menghampiri Nik-nok. Ia memberikan bingkai kaca itu kepadanya. Gadis itu tersenyum kecil. Matanya yang sipit kian menyipit hingga tampak hanya menyerupai sebuah garis. “Ini, kupersembahkan hanya untuk kamu.” “Terimakasih, kenapa Kamu memberi aku hadiah aneh seperti ini sih?” “Karena kamu secantik kupu-kupu ini.” “Kalau tahu begitu seharusnya aku juga membawa celengan babi kepunyaanku dari rumah.” “Untuk apa?” “Ya, untuk kuberikan kepadamu?” “Kenapa?” “Karena Kamu selucu celengan babi kepunyaanku.”

Audy tersenyum kecil. Ia senang saat Nik-nok mengatakan bahwa dirinya lucu, walau ia sedikit bingung untuk membedakan apakah dirinya yang selucu babi, atau babi itu sendiri yang selucu dirinya. “Apakah kamu mau menjadi pacarku?” “Aku menjadi pacarmu?” “Maukah kamu?” “Kurasa kamu Bukan tipeku Audy.” “Lantas seperti apa tipemu?” “Mungkin yang tidak pendek dan gemuk seperti dirimu.” “Loh, bukannya Kamu tadi bilang aku selucu babi?” “Iya, tapi bukan berarti aku ingin pacaran dengan babi kan?”

Audy terdiam. hatinya jatuh ke lantai. Berdebam. Pecah. berserakan. Belum tuntas ia mengambil kepingan hatinya yang tercecer. Nik-nok mengucapkan sepatah kata. “Anyway, terimakasih ya atas bingkainya..mungkin akan ku pajang di kamarku.” Ucapnya seraya pergi meninggalkan Audy yang masih saja memungut satu persatu kepingan hatinya yang hancur. Audy sedih. Ia berlari dengan linglung layaknya babi yang sehabis ditendang. Ia masuk ke dalam kelas guna mengambil tasnya lalu beranjak pulang. Di dalam kelas ia mendapati Deni yang masih menceracau sambil menangis sesegukan. Apakah aku akan menjadi seperti dia? Tanyanya lirih dalam hati.

Audy di dalam kamar. sedang memandangi dirinya dari cermin yang cukup besar untuk memantulkan citra tubuhnya secara keseluruhan. Dalam benaknya ia berkata Tuhan apakah benar aku mirip babi? Audy percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu baik adanya. Jadi bila benar ia disamakan dengan babi seharusnya tak menjadikan dirinya kecil hati. Toh babi juga makhluk ciptaan Tuhan bukan? pikirnya. Audy tersenyum. Ia beringsut tidur. Di dalam lelapnya ia masih saja memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Namun jumlahnya tidak lagi tujuh melainkan delapan. Satu diantaranya berparas Nik-nok.

“Sudah malam Nila, Kamu tidur saja ya..esok malam Kakek lanjutkan ceritanya.” “Lantas apa yang terjadi dengan Audy?” “Lihat sudah jam setengah sepuluh malam, Kamu sebaiknya tidur Nila, besokkan kamu sekolah.” “Bisakah Audy mendapati cinta Nik-kok?” “Sudah malam Nila..” “Aku belum mengantuk..ku mohon ceritakan aku hingga akhir cerita.” “Baiklah, tapi ingat sehabis cerita ini kamu sudah harus tidur ya?” “Baik.” Dan sang kakekpun melanjutkan ceritanya. ** Audy sadar kalau dirinya kini harus menjaga hatinya agar tidak rompal kemudian pecah. Karena ia sudah bersusah payah merekatkan setiap keping demi keping patahan hatinya selama enam bulan menggunakan power glue. Ia juga sudah mulai melupakan Nik-nok. Walau kadang ia masih sering memimpikan tujuh kupu-kupu bersayap ungu tersebut setiap malamnya. Bukan, bukan tujuh, melainkan delapan. satu diantaranya berparas Nik-nok, pun kadang ia masih sering terlihat mematut dirinya berlama-lama di depan cermin seraya berkata jauh di dalam hati Tuhan, apakah benar aku mirip babi?

Sepuluh tahun berlalu. Sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk merubah keadaan bukan? Namun ternyata ada dua hal di dunia ini yang tidak akan pernah berubah selama sepuluh tahun. Pertama, cinta Audy terhadap Nik-nok belum meluntur sama sekali. Kedua, tubuh Audy masih saja gemuk dan pendek tak ubah layaknya seperti babi. Mungkin ini yang dinamakan abadi. Sebuah rasa yang tidak akan pernah hilang dimakan oleh waktu.

Namun dalam waktu sepuluh tahun rupayanya nasib telah menjadikan Audy sebagai Top manager sebuah perusahaan milik BUMN ternama. Ia memiliki daya analisa yang tinggi sehingga mampu menaikkan profit seluruh kantor-kantor cabang di pulau jawa, Bali, dan Sumatera mencapai 10% setiap tahunnya . hal ini pula yang menjadikan Anggia bakrie sang sekretaris pribadi menaruh hati terhadap sang bos. Namun keadaan semakin rumit ketika samuel sang supir pribadi Audy turut menaruh hati terhadap Anggia.

Audy meminta samuel untuk mengantar Anggia ke sebuah biro tour and travel yang berada di selatan Jakarta guna mengambil tiket pesanannya ke Tokyo untuk menghadiri seminar yang bertajuk how to succeed suppy chain management proccess in the industry manufacture yang tengah diadakan oleh kantor pusat yang berlokasi di Jepang. Perusahaan meminta Audy untuk mengikuti seminar tersebut guna mempelajarinya untuk kemudian mengimplementasikan di perusahaan tempat ia bekerja. “Kamu nanti malam ada acara?” Tanya Samuel kepada Anggia di dalam mobil. “Memang kenapa?” “Kita jalan yuk.” “Jalan, Kemana? aku sibuk.” “Sibuk? Sibuk apalagi? Sibuk ngelayanin bos kamu itu ya?” “Kayanya kamu gak perlu tahu aku sibuk dengan apa deh. Tugas kamu hanya menyupir tok.” “Kecil ya barangnya?” “Hah?” “Maksud kamu.” “Tentu kamu sudah pernah main kan sama bos, gimana barangnya? Kecil ya?” tanya samuel seraya terkekeh.” “Kurang ajar kamu!” Hardik Anggia sembari melempar tas Louis vitton miliknya ke muka Samuel. Mobil pun oleng ke kanan. Lalu kemudian berdecit hingga berhenti. Anggia memutuskan untuk keluar dari Mobil. Berjalan menuju pedestrian dan memanggil taksi. Ia berlari dengan langkah kecil pertanda jijik dengan tingkah laku sang supir. “Bilang saja kalau kecil. Punyaku lebih panjang dan lebar!! Kita coba nanti malam ya! Kamu pasti puas!!” Teriak Samuel dari balik jendela Mobil. Anggia memutar balik badannya lantas mengacungkan jari tengah ke arah Samuel. Samuel hanya terkikik geli memerlihatkan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kaki miliknya yang tak kunjung diganti selama lima tahun. Di dalam taksi. Benak Anggia bertanya-tanya Kecilkah?

Di Tokyo. Di sebuah Hotel bintang lima. Audy membuka Jendela bening besar. berdiri di sebuah balkon kamarnya.tubuhnya telanjang bulat. Dirasakannya angin malam Tokyo yang menampar-nampar kedua pipi tembamnya. Ia melihat ke bawah. Tampak penis mungilnya berayun-ayun di hembuskan angin. Batinnya bertanya Kecilkah?

Di Tokyo. Di dalam Hotel, saat malam merenda, Audy tertidur. masih memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Bukan. Bukan tujuh. Melainkan delapan. satu diantaranya berparas Nik-nok.

Di Jakarta. Anggia sang sekretaris masih saja menunggu kepulangan sang bos dengan hati yang membuncah. Ia tak sabar mengenakan Kardigan ungu yang pernah diberikan oleh Audy di hari Ulang tahunnya yang ke 27.

Di Bekasi. DI rumah kontrakan. Samuel masih memendam hasrat untuk mengajak Anggia sekadar menonton film bersama, atau dinner di sebuah kafe di ujung sudut kota. Sungguh hatinya terpaut dengan Anggia. Ia masih tersenyum setiap kali mengingat Anggia. Dan senyumannya itu selalu memamerkan barisan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kakinya yang tak kunjung di ganti selama 5 tahun. ** Kakek itu melihat cucu kesayangannya ternyata sudah tertidur dengan lelap. Ia menatap wajah cantik nan mungil itu. Mengecup pelan kedua pipinya. Selamat tidur. Bisiknya lembut.

Kakek itu berjalan ke luar rumah. Hari sudah begitu malam. Jam tangan tua di pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Tentu bukan jam yang baik untuk para manula berjalan keluar di tengah malam di antara hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Namun hatinya terpanggil untuk menjenguk sebuah taman mungil yang dahulu kerap ia datangi saat masih mewujud bocah. Sebuah taman dimana dirinya begitu antusias untuk menyaksikan pertunjukan kupu-kupu saling-silang beterbangan dan mendarat untuk menghisap sari bunga.

Ia menyukai kupu-kupu itu. namun yang paling disukainya adalah kupu-kupu bersayap ungu. Karena kupu-kupu bersayap ungu selalu mengingatkannya akan seseorang yang amat dicintainya. Ah, kemanakah dia? Masihkah dia mengingat kejadian kurang lebih empat puluh lima tahun yang lalu? Saat dirinya memberikan bingkai kaca berisikan ketujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya bersayap ungu layaknya semburat cahaya senja yang mulai lindap ditelan malam. Ia tidak tahu. Ia hanya berharap semoga perempuan itu tidak akan pernah melupakannya.

Jauh di suatu tempat. Tampak seorang Nenek yang sedang berdiri. Menatap bingkai kaca. Di dalamnya masih terdapat tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Ia tersenyum kecil. Pikirannya melambung ke peristiwa empat puluh lima tahun yang lalu.


sumber: kompas.com