Akhir pekan pasti selalu seperti ini, mobil-mobil terparkir di halaman rumah Eyang yang luas. Kemudian di ruang tengah akan terlihat anak-anak kecil yang sedang bercengkerama dengan seorang lelaki tua yang masih tampak kuat dan sehat, Eyang Raka, begitu aku memanggilnya. Anak kecil yang jumlahnya ada tujuh orang itu sepertinya berebutan untuk mendapat perhatian Eyang, mereka melompat-lompat, tertawa, teriak-teriak dan melompat ke pangkuan Eyang. Di ruang depan pasti ada tiga orang laki-laki berusia sekitar 30-40 an tahun, sedang duduk santai sambil bercerita tentang apa saja. Di dapur ada perempuan yang sedang memasak sambil ngobrol dengan Eyang putri, sedang yang lain ada di taman belakang rumah sedang memperhatikan tanaman bunga yang sedang mekar.
Eyang Raka punya tiga orang anak laki-laki, ketiganya sudah menikah. Anak pertama bernama Dani, dia seorang pejabat di sebuah departemen, menikah dengan seorang dosen cantik dan kini sudah punya tiga orang anak. Anak kedua namanya Rendi, seorang dokter, menikah dengan seorang wanita karir dan sudah punya dua orang anak. Dan yang satunya lagi adalah Angga, seorang pengusaha sukses yang punya istri cantik dan dua orang anak yang sangat menggemaskan. Jadi Eyang Raka punya tujuh cucu, delapan kalau ditambah aku. Dan punya tiga anak, empat kalau ditambah ibuku.
Aku tidak pernah bisa bergabung dengan mereka, entah mengapa aku seperti merasa lain. Padahal mereka sangat baik, ramah dan sepertinya sayang padaku. Om Dani misalnya, dia selalu membawa mainan baru untukku. Om Rendi juga, Om Angga juga. Tapi entah mengapa, sepertinya aku merasa asing dengan mereka. Dan belakangan baru kusadari aku tidak menyukai kehadiran mereka. Akhir pekan menjadi hari yang sangat kubenci. Kalau bisa akhir pekan ditiadakan, apalagi hari libur. Hari-hari terasa sangat lambat kalau ada mereka. Rumah jadi ramai, ribut, berisik dan yang pasti Eyang Raka tidak punya waktu untukku.
“Sesekali ikut ke Jakarta yuk, Mas. Kamu kan belum pernah ke rumah,” ujar Tante Hani – istri om Rendi ketika mereka hendak berpamitan pulang.
Aku tak menjawab, hanya menunduk dan kemudian sembunyi di belakang Eyang Raka.
“Dimas biar disini saja, nemenin Eyang,” ujar Eyang Raka sambil mengacak rambutku. Sementara Eyang Putri sedang asik berpelukan dengan menantu dan cucu-cucunya.
Hanya beberapa menit kemudian, mobil-mobil itu sudah hilang dari pandangan. Eyang Raka dan Eyang Putri masih berdiri sambil melambaikan tangan, tapi aku segera masuk ke dalam rumah yang masih berantakan.
“Bahagia sekali ya, Pa melihat anak-anak kita,” terdengar suara Eyang Putri, mereka sudah duduk di teras depan.
“Cucu- cucu kita lucu-lucu ya," itu suara Eyang Raka
“Tapi mereka masih kecil-kecil, dari tujuh orang yang paling besar baru kelas empat SD. Mama takut tidak sempat melihat mereka tumbuh besar seperti ayah-ayahnya.”
Aku menunduk sedih, tujuh? Bukannya delapan, yang? Dan lagi, aku kan sudah besar yang? Sebentar lagi aku sudah masuk SMP? Apa Eyang lupa kalau aku juga cucu Eyang?
“Dimas kan sudah besar, sebentar lagi dia masuk SMP.” Itu suara Eyang Raka. Setelah itu tidak ada suara, akupun kemudian beranjak pergi. Masuk ke kamarku, mencoba membaca buku walau pikiranku melayang entah kemana.
Eyang putri sepertinya tidak menyukaiku, terasa sekali dia membedakan aku dengan ketujuh cucunya yang lain. Dulu aku tidak tahu apa salahku, tapi akhirnya pertanyaan itu terjawab lewat cerita mbok Inem, orang yang dari dulu ikut Eyang untuk bantu-bantu di rumah. Selama ini juga aku merasa aneh, karena teman-temanku pasti tinggal bersama ayah dan ibunya. Kalaupun tinggal di rumah Eyang, pasti sesekali ayah dan ibunya datang. Tetapi tidak dengan aku.
Ternyata kehadiranku tidak pernah diharapkan, dulu ibuku hamil di luar nikah. Waktu itu ibu belum genap setahun masuk kuliah di kota. Kekasihnya mau bertanggungjawab tapi Eyang Raka tidak mau menikahkah ibu. Kemudian lelaki itu diusir waktu datang ke rumah, dan waktu itu Eyang Raka mengatakan padanya bahwa Eyang tidak akan membiarkan ibu melahirkan anaknya. Lalu lelaki itu pergi dan tidak pernah kembali lagi. Setelah melahirkan aku, ibu sakit-sakitan dan kemudian meninggal ketika aku baru berusia empat bulan. Aib yang sangat memalukan itu ternyata telah membuat Eyang Putri sepertinya tidak bisa menerimaku seperti cucu-cucu lainnya. Setidaknya seperti itulah yang kurasakan.
Mengetahui statusku yang seperti itu akupun menjadi berubah pendiam dan agak pemurung. Kadang-kadang aku menangis sendiri di kamarku, cengeng sekali, padahal aku kan anak laki-laki. Sedih sekali rasanya melihat temen-temenmu tumbuh dengan kasih sayang ayah ibu mereka, sedang kau tidak pernah merasakan kasih sayang ayah dan ibumu. Bahkan bertemu pun tidak pernah. Dan yang lebih menyakitkan, kau lahir tanpa ayah. Akupun akhirnya mengerti kenapa Eyang bersikap seperti itu. Dan karena itulah akhirnya aku merasa asing dengan anak-anak Eyang yang datang setiap akhir pekan. Apalagi dengan cucu-cucu nya. Aku merasa tidak berguna dibanding mereka, mereka sangat berbeda denganku. Perasaan itu selalu datang setiap kali mereka datang. Kadang-kadang aku ingin pergi, tapi ke mana aku pergi? Aku juga tidak mau meninggalkan Eyang Raka. Beliau sayang padaku, aku juga sangat menyayanginya. Meski dia kadang kurang perhatian bila cucu-cucunya datang, pancaran kasih sayang dari wajahnya tidak berkurang. Rasa takut pun kemudian muncul di hatiku. Eyang Raka sudah tua, bagaimana nanti kalo beliau wafat?
Seiring dengan berjalannya waktu, akhir pekan yang biasanya selalu ramai pelan-pelan berubah menjadi biasa saja. Kehadiran mereka setiap akhir pekan ternyata sudah tidak bisa dilaksanakan karena kesibukan-kesibukan mereka yang mungkin jauh lebih penting. Lalu mereka hanya datang sebulan sekali, itupun tidak lengkap semuanya. Kemudian mereka sangat jarang datang, hanya ketika lebaran saja dan itu pun cuma sebentar. Dan Eyang pun tampak lebih tua sekarang.
Ketidakhadiran mereka memberi rasa nyaman tersendiri buatku. Seluruh perhatian Eyang Raka hanya untukku, dan Eyang Putri pun sepertinya mulai berubah, kurasa karena hanya ada aku. Ketujuh cucu yang lain sudah sangat jarang datang. Mereka pasti sudah besar-besar. Aku pernah melihat salah satu dari mereka di sinetron yang sedang tayang di televisi.
Tiba-tiba Eyang Putri masuk rumahsakit, kata mbok Inem serangan jantung. Masih kata mbok Inem, Eyang tiba-tiba pingsan setelah mendengar berita tentang anak-anaknya di kota. Tidak tanggung-tanggung, aku saja yang mendengar berita tiba-tiba lemas, padahal aku tidak begitu menyukai mereka. Om Dani ternyata sudah dua bulan ini menjadi tersangka korupsi di departemen yang dipimpinnya, istri dan ketiga anaknya sudah mengungsi ke luar negeri. Berita-beritanya sudah dari dua bulan yang lalu ada di koran dan televisi. Belum cukup hanya Om Dani, Om Rendi juga sedang ribut dengan istrinya dan sedang dalam proses perceraian. Kabarnya mereka sedang berebut harta gono-gini dan hak asuh anak. Dan yang terakhir Om Angga juga mendapat masalah yang tidak kalah peliknya, ribuan karyawannya sudah beberapa unjuk rasa dan mogok kerja menuntut kenaikan upah. Pantes saja Eyang Putri pingsan dan langsung masuk rumahsakit mendengar berita mengejutkan itu.
Kudapati Eyang Raka sedang termenung sambil menghisap cerutunya di beranda belakang rumah. Pandangannya jauh menatap kedepan, aku tahu apa yang sedang dipikirkannya.
“Eyang…,” ujarku ragu takut mengusiknya.
“Duduk sini!” ujarnya sambil menunjuk kursi rotan di sebelahnya
“Eyang putri….?”
“Tidak apa-apa. Eyang baru saja pulang dari rumahsakit, sekarang banyak tetangga-tetangga yang menungguinya.”
“Eyang…,” aku ragu untuk melanjutkan pertanyaanku. Aku ingin tahu tentang om-om ku itu. Tapi ternyata Eyang Raka sudah tahu maksud hatiku.
“Tentang itu Eyang sudah dengar dari awal, makanya Eyang tidak pernah bawa koran ke rumah dan jarang melihat televisi supaya Eyang Putri mu tidak tahu, tapi ternyata bagaimanapun kita menutupinya, pasti ketauan juga. “ terpancar jelas luka yang dalam di wajah Eyang. Kasihan Eyang, mereka kan sudah tua.
“Dari dulu Eyang sudah mengingatkan mereka untuk selalu hati-hati dan selalu memakai hati. Tapi…” Eyang Raka menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku hanya bisa diam dan tahu harus bagaimana.
“Eyang tidak tahu salah dimana mendidik mereka, Mas. Eyang heran kenapa semua anak Eyang bermasalah. Eyang sudah gagal. Sebenarnya kegagalan itu sudah Eyang dapatkan delapan belas tahun yang lalu, saat kepergian Sinta ibumu. Tapi ternyata kegagalan-kegagalan yang lebih besar datang dari anak-anak Eyang yang lain.” Mata Eyang Raka berkaca-kaca, kesedihan menyelimuti wajahnya. Aku hanya bisa menunduk diam.
Tiba-tiba, ”Maafkan Eyang, Mas. Kalau saja dulu Eyang tidak bersikap seperti itu, pasti sekarang kau punya ayah dan ibu. Eyang sudah tua, dengan siapa nanti kau tinggal. Eyang tidak mungkin menitipkanmu pada om-om mu. Eyang tidak ingin kelak kamu seperti mereka.” Eyang memelukku sangat erat, dan…Eyang menangis. Eyang Raka yang selama ini kukenal paling tegar ternyata bisa menangis. Akupun tidak dapat menahan airmataku.
“Maafkan Eyang, le,” diusap-usapnya kepalaku. Penyesalan yang mendalam jelas tersirat di wajah tuanya.
Kesedihan Eyang ternyata lebih pada penyesalan pada sikapnya di masa lalu pada ibuku. Penyesalan itu lebih membebani hatinya daripada berita tentang anak-anaknya yang sedang bermasalah. Tapi benarkan Eyang yang salah? Bukankah ibuku meninggal karena sakit? Dan itu sudah takdir. Entahlah, aku tidak tahu.
Aku masih menangis, kupeluk Eyang lebih erat. Tiba-tiba aku merasa sangat berharga.***YC
Salatiga, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar